Oleh : Titin AW
“kehilangan yang membuat lebih
dekat kepadaNYA”
20 September 2015 05.15 am
Tiap pagi begini, selepas shalat
subuh aku biasa jalan-jalan pagi, terkadang memakai sepeda sekedar berkeliling
di area kompleks sekitaran tempat tinggalku. Begitu terus setiap pagi, dan yang
terakhir tentu saja aku takkan melewati semburat langit saat fajar sambil
mengambil beberapa gambar dengan kamera DSLR ku yang aku ambil diatas atap rumahku. Sesuai
dengan namaku fajar, Fajar Ardian. Saat fajar menyingsing, itu adalah saat
langit mengeluarkan kecantikannya bagiku. Udara masih segar tanpa polusi, dan
kota metropolitan ini masih belum terlalu ramai. Dulu, yang seringkali menjadi
objek pengambilan gambar juga adalah saat matahari akan tenggelam. Saat senja,
langit senja sama indahnya dengan langit saat matahari akan terbit atau saat
fajar. Tapi, sekarang senja bukan objekku lagi, aku juga tak ingin melihatnya
lagi,itu jika bisa. Tuhan melenyapkan senja hari dan langsung petang, itu lebih
bagus. Karena bagiku, jika sore hari saat terlihat semburat langit senja, aku
akan mengingatnya lagi. Dan aku tidak suka.
21 September 2015
Hari utama dalam segala kegiatan
persekolahan,dan bekerja dimulai lagi. Tidak ada yang menarik, tidak pula
membosankan yang kata orang senin adalah hari paling berat, paling sibuk, dan
rasanya ingin tetap menarik selimut selepas shalat subuh. Begitu ungkap
murid-muridku saat aku memberikan tugas rumah. Aku adalah seorang guru, tutor,
dan penulis. Tulisan ku sering dimuat di majalah, Koran, dan kadang diangkat
menjadi naskah skenario film pendek. Hidupku bisa dibilang merupakan impian
anak muda zaman sekarang. Fasilitas rumah, kendaraan, finansial selalu
terpenuhi, dengan prestasi gemilang pula. Tak pernah ada kegagalan berat dalam
hidupku. Itu selepas aku diangkat menjadi anak asuh salah seorang pengusaha
kaya raya nan baik hati. Sebelum tinggal di Jakarta, aku dahulunya tinggal di
daerah Bukittinggi Lombok Barat,NTB. Pastinya kalian baru dengar daerah asalku.
Ya siapa yang mengira, ada daerah bernama Bukittinggi selain di Sumatra. Daerah
dengan kemiringan jalannya sampai 70 derajat. Dengan akses jalan yang masih
bebatuan serta sinyal operator apapun yang datang dan pergi. Tapi beberapa hari
lalu ku dengar akses kesana sekarang sudah lumayan bagus. Pemerintah sudah
melakukan operasi pemulusan jalan, dari Desa Jeringo sampai Desa Gelangsar. Suatu
saat aku akan mengunjungi daerah asalku itu. Mengunjungi air terjun yang dahulunya
tempat aku memandikan kuda warga, dengan upah makan satu piring penuh.
Sekarang, di kota metropolitan
ini, aku sebenarnya tinggal dengan ayahku dan keluarganya, ayah angkat
tepatnya. Tapi akhir-akhir ini beliau selalu sibuk mengurusi usaha nya,
menyiapkan hewan kurban, dan sibuk diperpustakaan dengan buku-buku yang hampir semuanya
cetakan luar negeri, dan kebanyakan buku tebal dengan bahsa arab tanpa baris
pula, melihat nya saja aku sudah pusing apalagi membacanya, tentu saja aku
tidak pernah sekalipun mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
Selepas shalat ashar, aku
berharap bisa menikmati scangkir teh dengan ayah karena akhir-akhir ini aku
merasa tidak puas dengan segala hal yang ada dalam hidupku, kali saja jika aku
mendiskusikan hal ini dengannya, aku bisa menemukan jalan keluarnya. Ya biasanya
selepas ashar beliau akan duduk di beranda belakang rumah sambil memberikan
makan ikan di kolam. Ah, itu ayah “mbok, satu cangkir teh juga ya” sambil duduk
disamping beliau. Beliau masih saja serius dengan ikan-ikan dikolam tersebut. Aku
mencoba untuk berdehem, beliau hanya melihat ku sebentar lalu tak menggubrisku
malah menyeruput tehnya. “kemana saja kau anak muda? Sebegitu sibukkah menulis
sampai tak pernah menemani ayah lagi tiap sore menikmati teh dan mengobrol
ringan?” kini giliran aku yang pura-pura tidak mendengar, menyeruput teh dan
menatap ikan-ikan di kolam, beliau hanya tersenyum. “ayah, akhir – akhir ini
aku merasa seperti tak puas dengan hidupku, padahal hampir tak ada masalah
dalam pekerjaan, maupun dengan relasi,,”
“apa yang kau perlukan lagi? Ayah akan penuhi insyaAllah.”
“bukan, bukan soal materi ayah,
tapi entah rasanya ada yang kurang, aku tidak merasa bahagia dengan segala karunia
yang Allah berikan ini, seperti..” aku menggantungkan kalimatku, menemukan
kata-kata yang pas. “ kau perlu pendamping hidup”
“maksud ayah? “
“Ya, saat uring-uringan seperti
ini, saat kau pulang bekerja, saat kau butuh seseorang untuk mendengarkan
cerita mu yang penting, ia akan selalu setia mendengarkanmu, melepas rasa
lelahmu dengan senyum mu”. Ayah menunggu responku yang hanya memainkan ujung
cangkir. “sepertinya, aku masih belum bisa mencari pendamping hidup ayah”
“alasannya? Apa belum ada gadis
yang tepat?”
“hampir”
“hampir? Hmm..sepertinya putra
ayah sedang mengalami masa kegalauan. Haha, ceritakan pada ayah, kali saja ayah
bisa membantumu”
Apa harus aku bercerita? Ah rasanya
aku malu menceritakan hal seperti ini, apalagi pada ayah. Mungkin jika pada ibu
bisa saja, ah tapi aku laki-laki. Ah ya sudah, toh aku sedang mencari jalan
keluar permasalahanku. “2 tahun lalu, aku pernah dekat dengan seorang wanita”. Ayah
mengangkat alisnya, aku bisa membaca gelagat ayah yang keheranan, mendengarku
dekat dengan seorang wanita padahal selama 13 tahun aku hidup bersama beliau
tak pernah melihatku dekat bahkan membicarakan satu wanita pun kecuali ibu. “itu
sudah lama ayah, dan sekarang aku sudah tak pernah berhubungan lag dengannya. Kedekatan
kamipun hanya sebatas jalan bersama, hanya itu. Tapi 1 tahun lalu, ia mulai
menghilang, aku mencoba menghubunginya karena khawatir. Sampai suatu hari ia
memutuskan untuk mengakhiri kedekatan kami padahal selama kami dekat tidak ada
masalah, saat aku Tanya alasannya bahwa hubungan yang kami jalani ini tidak di
ridhoi Allah. Aku mengatakan, bahwa aku akan melamarnya, tapi ia mengatakan
akan fokus pada studi nya dulu. Jika berjodoh, suatu saat Allah akan
mempertemukan kita, sekarang kita sama-sama memantapkan diri, itu kata-kata
terakhir yang ia katakan”
“oh kau diputuskan karena Allah? Lalu
masalahnya dimana? Haha seperti sinetron saja.”
“ah..bukan disitu ending
ceritanya ayah”
“nah, lalu?”
“dia gadis baik, berjilbab,
pintar, dan sopan. Dia juga menundukkan pandangan pada pria yang bukan
muhrimnya. Ya, aku mungkin dulu sedikit menggoyahkan imannya sampai akhirnya
aku jalan dengannya, tapi karena kedekatan itu aku rajin shalat ke masjid,
rajin beribadah. Sampai saat dia memutuskan pergi karena Allah, aku
mengikhlaskannya. Karena aku yakin dia adalah jodohku, dia pasti akan ku lamar
nanti saat studinya selesai. Sampai beberapa bulan kemarin, aku tak sengaja
melihatnya sedang tertawa bersama seorang temanku. Aku meyakinkan diriku, bahwa
itu hanyalah scenario seperti di film-film yang melihat mantan kekasihnya
bersama orang lain tertawa bersama lalu mantannya cemburu. Tapi suatu saat di
toilet pria. ponsel nya ditinggalkan didekat wastafel tempatku mencuci tangan, tiba-tiba ponsel
nya berdering, kulihat nomor yang sangat aku kenali, lalu ia segera keluar dari
toilet meraih ponsel nya dan..tiba-tiba rasanya seperti semua yang aku lakukan
sia-sia, isi pembicaraannya menanyakan pada si penelpon sudah makan belum, buku
yang kemarin dipinjam akan dikembalikan, bertemu di tempat biasa. Dan sisa nya
aku tidak ingin lagi mendengar, aku keluar”. Kulihat ayah menghela napas
panjang, menyeruput teh nya ”hanya, sampai itu? Kau belum mengomfirmasi kan
kedekatan mereka, ah kau terlalu terbawa emosi jar”
“yah, setelah itu, aku langsung menanyakannya, tapi yang ia katakan ia bahkan
tak pernah saling berhubungan dengan temanku itu lewat via telpon, dia hanya
bilang dia meminjam buku untuk keperluan tugas kuliahnya, saat aku Tanya tentang
hubungannya dia menjawab hanya sebatas teman biasa. Aku hanya kecewa ayah, saat
aku begitu mempercayainya, memantapkan ia menjadi jodohku kelak, serta mengikhlaskan
nya karena Allah, ia malah bersama orang lain. Dari kejadian itu, aku tak mau
lagi merancang masa depanku, aku sudah tak mau lagi menjalin hubungan dengan
siapapun” bukannya menanggapi keluh kesahku dalam acara 4 mata bersama ayah,
malah beliau masuk ke kamar Adin, lalu keluar dengan membawa mainan puzzle.”untuk
apa puzzle ini yah? Astagaa,, aku sudah umur 23 tahun, diajakin main puzzle?”
“sudah,,,,susun saja dulu puzzle
nya”. 30 detik saja puzzle ini selesai aku kerjakan, tapi tunggu puzzle yang
dibagian akhir dimana? Aku mencari-cari pasangannya, setelah aku dapat malah
diambil ayah. “ayah, itu puzzle terakhir, jika aku tak memasangnya, puzzle nya
tentu tidak terlihat sempurna. Ayah hanya mengulum senyum “lalu bagaimana jika
yang ayah ambil bagian puzzle yang ditengah?”.
“ah ayah, hanya akan membuat
semakin tidak sempurna, kalau malah bolong di tengah makin tidak enak lah
dipandang”. Lalu ayah menaruh potongan puzzle di tengah kembali. Dan potongan
puzzle terakhir, beliau ambil dari puzzle yang gambar lain. “lho, yah,,itu
bukan pasangannya, gimana bisa nyatu pasangannya?”
“ kamu belum coba pasang, sudah bilang gak nyatu, coba pasang puzzle terakhir
dengan puzzle ini”. Ah ayah ada-ada saja, mana bisa puzzle ini disatukan, kan
beda gambar. Gambar ini potongannya orang yang sedang berdoa, padahal kan
puzzle kedua terakhir harusnya diisi dengan potongan tangan animasi yang bergandengan,
tapi tunggu,,kenapa malah bisa cocok seperti ini?
“sekarang kamu mengerti maksud
ayah? Ayah hanya mengambil potongan terakhir dari puzzle, tapi kamu se gusar
itu, padahal masih terlihat lengkap kan? Coba jika yang potongan tengah yang
paling besar, sangat terlihat tidak lengkap. Begitu pula dengan apa yang kau
alami, semua yang kau punya hampir terpenuhi, tapi hanya karena Allah mengambil
sekeping hati mu, kau lupa bersyukur dengan segala nikmat dan karunia-Nya. Dan perhatikan
setiap sudut dari puzzle ini”. Aku memperhatikan dari sudut atas kiri dengan
tulisan ALLAH,lalu sudut atas kanan ALLAH juga, sudut Kiri bawah ALLAH lagi,
dan terakhir sudut kanan bawah ALLAH. Barulah aku sadar, bahwa puzzle ini bukan
mainan, tapi salah satu media perentasi pemasaran usaha ayah.”itulah nak,
mengapa ayah menyuruhmu menyusun puzzle ini, karena dari awal sampai akhir
segala sesuatu yang ingin kita capai, diniatkan dengan nama Allah, maka saat
kau menemukan jalan buntu, terpuruk, atau bahkan kehilangan segala sesuatu yang
kau cintai di dunia ini, tempat pelabuhan hatimu adalah ALLAH semata.
Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati kita”
Semburat senja sudah terlihat,
dan magrib akan segera tiba, kami segera bergegas ke masjid, aku mendapat pelajaran
berharga hari ini, dan aku sudah menemukan titik balik kehidupanku. Titik balik
yang jiwaku yang selama ini hanya terisi cinta duniawi. Kini aku tahu apa yang
harus kulakukan. Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.
[maka nikmat Rabb kamu yang
manakah yang kamu dustakan?] (QS ArRahman:13)
[…sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala isi hati…] (QS AlAnfaal:43
[innahu ‘aliimun bidzaatishuduur]
( QS AlMulk:13]